Minggu, 16 November 2008

Home Schooling

Pendidikan di Rumah (Home Schooling); termasuk dalam kategori pendidikan alternative yaitu pendidikan yang diselenggarakan oleh keluarga sendiri terhadap anggota keluarganya yang masih dalam usia sekolah. Pendidikan ini diselenggarakan sendiri oleh orangtua/keluarga dengan berbagai pertimbangan, seperti: menjaga anak-anak dari kontaminasi aliran atau falsafah hidup yang bertentangan dengan tradisi keluarga (misalnya pendidikan yang diberikan keluarga yang menganut fundalisme agama atau kepercayaan tertentu); menjaga anak-anak agar selamat/aman dari pengaruh negatif lingkungan; menyelamatkan anak-anak secara fisik maupun mental dari kelompok sebayanya; menghemat biaya pendidikan; dan berbagai alasan lainnya.

Istilah pendidikan alternatif merupakan istilah generik dari berbagai program pendidikan yang dilakukan dengan cara berbeda dari cara tradisional. Secara umum pendidikan alternatif memiliki persamaan, yaitu: pendekatannya berisfat individual, memberi perhatian besar kepada peserta didik, orang tua/keluarga, dan pendidik serta dikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman.

Di Indonesia, home schooling mulai menjadi "trend" meski belum diketahui data pastinya. Metode ini berangkat dari para orangtua yang seperti halnya di AS, juga mempertanyakan sistem pembelajaran di banyak sekolah yang justru membuat anak stress dengan metode kurikulumnya yang ketat.
Home schooling, menurut Ketua Asah Pena (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif) Seto Mulyadi, adalah sebuah sistem pendidikan atau pembelajaran yang diselenggarakan di rumah, tidak ada kelas seperti halnya di sekolah formal.
Di sini orangtua bisa menjadi gurunya, dan jika ada guru yang didatangkan secara privat hanya akan membimbing dan mengarahkan minat anak dalam mata pelajaran yang disukainya. Ruang kelasnya bisa kamar tidur, dapur, halaman rumah dan lain-lain dengan waktu yang tak dibatasi.
Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat 3, yang menyatakan perlunya pemerintah mengusahakan sistem pendidikan nasional, maka disusun Undang-Undang yang khusus mengatur masalah pendidikan. Pada jaman Orde Baru UU Pendidikan disusun pada tahun 1989 dengan lahirnya Undang-undang No 2 tahun 1989 tentang pendidikan, kemudian Undang-undang tersebut diganti dengan Undang-undang No 20 tahun 2003 yang merupakan perbaikan dara Undang-undang Sistem Pendidikan tahun 1989.

Undang-undang no 20 tahun 2003 merupakan undang-undang yang mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan nasional yang terdiri dari 22 bab dan 77 pasal. Didalamnya mencakup dari mulai dasar dan tujuan, penyelenggaraan pendidikan termasuk Wajib belajar, penjaminan kualitas pendidikan serta peran serta masyarakat dalam sistem pendidikan nasional.
Dalam undang-undang ini secara tegas disebutkan bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, ini berarti bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan pengaturan pendidikan dalam tataran praktis harus mengacu pada dua landasan tersebut. Adapun fungsi dan tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam Bab II Pasal 3 UU No 20 tahun 2003 adalah :
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Beberapa konsekuensi dapat diambil atas isi pasal dari konstitusi tertinggi di Republik Indonesia tersebut. Pertama adalah bahwa belajar haruslah di lakukan secara terus menerus, seumur hidup, dan berkelanjutan. Kedua, bahwa semua lapisan masyarakat Indonesia harus dapat mengakses segala jenis dan tingkatan pendidikan yang di perlukan dan sesuai untuknya. Ketiga, bahwa pemerintah wajib mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah, dan dapat memberi keyakinan bahwa setiap individu dari masyarakat Indonesia dapat dan telah mengenyam pendidikan yang layak.

Pemerintah telah mengakomodasi homeschooling dalam sistem pendidikan nasional, misalnya di Pasal 27 UU Sisdiknas ayat (1) yang mengatakan bahwa: Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Ayat (2) mengatakan bahwa: Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Pendidikan informal adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri, yang hasilnya diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27).
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Dasar Pemprov DKI Jakarta, Sylviana mengatakan, homeschooling adalah sekolah alternative yang diadakan karena ada orangtua yang menginginkan sesuatu yang baru dalam metode pendidikan bagi anaknya dengan model pembelajaran yang lebih bebas. Sedangkan pengertian yang lain Homeschooling adalah sekolah alternative yang menempatkan anak sebagai subyek pendidikan dengan pendekatan “at home”, dan proses belajar mengajarnya tidak selalu di rumah serta disesuaikan minat anak.
Dalam metode ini anak tidak dipaksakan harus bersekolah dan jauh dari orangtuanya, mengedepankan metode bermain, dan orangtua bebas mengajarkan anak dengan cara yang menurut mereka baik dan sesuai, serta bebas menggunakan sarana pembelajarannya sendiri.
Seto Mulyadi menyebutkan, ada beberapa alasan masyarakat memilih homeschooling sebagai pendidikan alternatif, yaitu karena sistem ini menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik, menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel.

Juga memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah. Dari data yang diterima, keluarga di Amerika merasa lebih aman menyekolahkan anak mereka di rumah karena sekolah di sana adalah lembaga yang tepat dan efektif untuk berdagang narkoba, kejadian KTD (Kehamilan yang Tidak Di inginkan) atau bentuk pelecehan lainnya, dan tawuran yaitu perilaku kekerasan dan penindasan terhadap remaja –seperti kasus STPDN dulu -.
Selain itu sistem ini juga memberikan keterampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga, dan sejenisnya, memberikan pembelajaran langsung yang kontekstual, tematik, dan nonscholastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu.
Menurut Seto Mulyadi, sebetulnya bangsa Indonesia sudah lama mengenal homeschooling sebelum sistem pendidikan Belanda datang. Homeschooling telah berkembang di Indonesia seperti di pesantren-pesantren.
"Misalnya, banyak para kyai secara khusus mendidik anak-anaknya, begitu pula para pendekar dan bangsawan zaman dahulu yang lebih suka mendidik anak-anaknya secara pribadi di rumah atau padepokannya ketimbang mempercayakan pendidikannya kepada orang lain," katanya.
Tokoh pergerakan nasional seperti KH Agus Salim, Ki Hajar Dewantara dan Buya Hamka adalah tiga di antara tokoh-tokoh nasional yang belajar dengan sistem ini dan dididik orangtuanya untuk mencintai ilmu. Bukan sekedar agar lulus ujian, ujarnya.
Di sisi lain terdapat masalah yang terkadang anak didik Homeschooling tidak menyukai pelajarannya. Dalam masalah ini orang tua bertanggung jawab menciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk kegiatan belajar anak dan memperkenalkan anak kepada sumber–sumber pembelajaran (seperti ensiklopedia, kamus, dan internet). Orang tua juga mesti kreatif mencari metode belajar yang paling tepat untuk anaknya.

Sekarang ini justru yang sedang trend adalah anak-anak homeschooling kembali ke sekolah reguler, mungkin dengan cara yang formal ini mereka bisa mengantisipasi masa depan anak dengan lebih baik. Karena pemerintah, memfasilitasi adanya tes penempatan kembali kepada mereka yang sebelumnya dididik di rumah dan ingin masuk ke sekolah reguler. Dari tes itu akan diketahui di kelas berapa si anak seharusnya masuk.
Namun demikian, Sylviana menilai positif saja sistem homeschooling ini karena pemerintah memang berkewajiban memfasilitasi kebutuhan masyarakat yang mungkin tak sependapat dengan kurikulum yang ketat.
Pemerintah, ujarnya, juga telah mengakomodasi homeschooling dalam sistem pendidikan nasional, misalnya di Pasal 27 UU Sisdiknas ayat (1) yang mengatakan bahwa: Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Ayat (2) mengatakan bahwa: Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Karena itu homeschooling bisa didaftarkan sebagai komunitas belajar pendidikan nonformal dan kemudian pesertanya bisa mengikuti Ujian Nasional Kesetaraan Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP), dan Paket C (setara SMA) untuk mendapatkan sertifikat.
Sylviana mengakui, tidak ada sertifikat dari lulusan homeschooling ini karena sistem tersebut juga tak memiliki standar baku apapun, bahkan ia mengkhawatirkan, anak-anak yang dididik dengan metode ini tak mendapatkan pelajaran seperti seharusnya.
"Orangtua sendiri apakah siap mengajarkan anaknya tanpa latar belakang mengajar, apakah cukup wawasan? Mungkin saja seorang ibu bergelar doktor sulit berkomunikasi dengan bahasa anak," katanya.

Kak Seto juga mengakui, anak-anak yang belajar di homeschooling kurang berinteraksi dengan teman sebaya dari berbagai status sosial yang dapat memberikan pengalaman berharga untuk belajar hidup di masyarakat.
"Kemungkinan ia akan terisolasi dari lingkungan sosial yang kurang menyenangkan sehingga ia akan kurang siap untuk menghadapi berbagai kesalahan atau ketidakpastian," tambahnya.
Karena itu agar homeschooling dapat dilaksanakan dengan baik dan anak dapat merasa nyaman dalam belajar, maka ada beberapa prasyarat keberhasilan dalam menyelenggarakan homeschooling selain tekad dan disiplin.
Prasyarat itu adalah, ketersediaan waktu yang cukup, keluwesan dalam pendekatan pembelajaran, kemampuan orang tua mengelola kegiatan, ketersediaan sumber belajar, dipenuhinya standar yang ditentukan.
Selain itu, juga diselenggarakannya program sosialisasi agar anak-anak tidak terasing dari lingkungan masyarakat dan teman sebaya, dijalinnya kerjasama dengan lembaga pendidikan formal dan nonformal setempat, terjalin komunikasi yang baik antar penyelenggara homeschooling, dan tersedianya perangkat penilaian belajar yang inovatif.
Jika prasyarat ini terpenuhi, diharapkan sistem homeschooling bisa menjadi salah satu alternatif pendidikan di masa depan serta akan semakin mempercepat tercapainya masyarakat belajar di tanah air, kata Seto Mulyadi.

Pendidikan informal merupakan pendidikan yang terus menerus dijalani oleh manusia dengan durasi selama hidupnya, ini berarti pengaruhnya akan terus dirasakan oleh pendidikan formal maupun nonformal, namun demikian keadaan sebaliknyapun tentu saja terjadi, dimana kualitas pendidikan informal juga mendapat pengaruh pendidikan formal dan nonformal dari perubahan-perubahan yang terjadi pada peserta didik, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pembentukan keluarga selanjutnya.
Sebagai contoh pendidikan informal adalah homeschooling bisa didaftarkan sebagai komunitas belajar pendidikan nonformal dan kemudian pesertanya bisa mengikuti Ujian Nasional Kesetaraan Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP), dan Paket C (setara SMA) untuk mendapatkan sertifikat.
Homeschooling mempunyai beberapa persyaratan, apabila persyaratan ini terpenuhi, diharapkan sistem homeschooling bisa menjadi salah satu alternatif pendidikan di masa depan serta akan semakin mempercepat tercapainya masyarakat belajar di tanah air dan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam bab II Pasal 3 UU No 20 tahun 2003 adalah :
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Bagi siapa pun yang sudah mantap menempuh Homeschooling mulailah dipraktikkan. Yang terpenting adalah komitmen untuk menjalankannya. Homeschooling memberikan fleksibilitas dalam proses belajar, bukan hanya bagi anak, tapi juga bagi Anda sebagai orang tuanya.



DAFTAR PUSTAKA
- Disarikan dari: Artikel Kuliah; Pendidikan Alternatif Sebuah Agenda Reformasi, Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, Jurusan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (1999)
- Antara/Dewanti Lestari, Suara Karya, Sabtu, 14 Juli 2007.
- Arifin, Anwar, Prof. Dr., Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang SISDIKNAS, POKSI VI FPG DPR RI, 2003.
- Parents Indonesia, Mei 2007

Tidak ada komentar: